TUMPEK WARIGA
“AMRETANING SARWA TUMUWUH NGARDI KARAHAYUAN JAGAT”
Tumpek wariga merupakan
hari raya agama hindu yang dilaksanakan setiap 6 bulan sekali. Kalimat Tumpek
wariga terdiri dari 2 kata yaitu tumpek dan wariga. Tumpek berasal dari kata “Tampek”
yang artinya mendekat, kemudian wariga memiliki arti hari baik, nama wuku dan
pelestarian tumbuhan. Dalam hal ini tumpek wariga memiliki makna mendekatkan
diri kepada tumbuh-tumbuhan dengan cara menjaga dan memeliharanya. Tidak bisa
dipungkiri bahwa kehidupan manusia sangat memerlukan kehadiran dari segala macam
tumbuh-tumbuhan yang digunakan untuk menghasilkan oksigen serta digunakan juga
sebagai bahan makanan.
Pelaksanakan hari raya
tumpek wariga sendiri menurut lontar sundari gama disebutkan “Wariga
Saniscara Kliwon, ngaran panguduh pujawali Sanghyang Sangkara, apan sira
amrtaken sarwaning tawuwuh”, yang memiliki arti pada hari Saniscara
Kliwon Wuku Wariga, disebutlah hari panguduh. Suatu hari untuk memuja Sanghyang
Sangkara, sebab Beliaulah yang menciptakan segala tumbuh-tumbuhan. Jadi tumpek
wariga dilaksanakan setiap sabtu kliwon wuku wariga untuk memuja manifestasi Ida
Sang Hyang Widhi Wasa sebagai Dewa Sangkara yang merupakan dewanya dari
segala macam tumbuh-tumbuhan. Tumpek wariga oleh masyarakat hindu sendiri
disebut juga tumpek bubuh dan tumpek pengatag.
Prosesi upacara dalam
pelaksanaan tumpek wariga itu sendiri yang menjadi ciri khasnya adalah umat
hindu menghaturkan banten tipat taluh dan tipat gatep, kemudian
menghaturkan bubur sumsum sebagai sesajinya. Tipat taluh memiliki
makna sebagai purusa, sedangkan tipat gatep itu sebagai pradana.
Hal ini memiliki makna dengan bertemunya purusa dan pradana akan menghasilkan buah
hasil dari yang ditanam. Sesajen bubur memiliki makna agar tanaman yang ditanam
itu menjadi subur.
Untuk mengiringi prosesi
upacara tersebut terdapat pula sebuah sesontengan yakni “Dong…dong…I
Kaki kija? Ia gelem. Gelem kenken? Gelem ngeed…ngeed…ngeed”, yang memiliki
makna Dong berarti dadong merupakan simbul pradana,
sedangkan Kaki merupakan simbul purusa, dalam hal ini harapannya
apapun yang ditanam agar mendapatkan hasil. Kearifan lokal Bali memiliki
keunikan tersendiri untuk menjaga dan melestarikan segala jenis tumbuh-tumbuhan.
Keunikan yang dimaksud adalah ada beberapa pohon atau tanaman lainnya
diselimuti oleh kain (seperti kain putih, kuning, poleng) selain
dipercayai sebagai tempat yang gaib juga memiliki makna agar manusia tidak menebang
atau merusak pohon tersebut.
Konsep pelaksanaan tumpek
wariga ini merupaka penerapan dari ajaran Tri Hita Karana. Seperti diketahui
Tri Hita Karana merupakan tiga prinsip hidup untuk mencapai kebahagiaan, yaitu
dengan cara menjalin hubungan harmonis dengan Tuhan (Parhyangan), manusia
(Pawongan) serta lingkungan (Palemahan). Pelaksanaan tumpek
wariga ini erat kaitannya dengan palemahan karena sebagai manusia harus
menjaga keharmonisan dengan lingkungan yang dalam hal ini adalah segala jenis
tumbuhan.
Dalam keyakinan masyarakat
Bali dipercaya untuk melaksanakan penanaman tumbuhan itu memiliki harinya
masing-masing sesuai dengan golongan tanaman tersebut. Misalnya seperti jenis
sayuran (soroh madon), jenis bunga (sarwa sari), jenis biji-bijian
(pala wija), jenis buah-buahan (pala gantung), jenis turus, jenis
tumbuhan yang memiliki buku, dan jenis umbi-umbian (pala bungkah)
seperti yang termuat dalam kesusastraan Bali berupa Pupuh Sinom berikut ini :
Yan
nuju matetanduran,
Sapta warane hitungin,
Soroh medon yan anggara,
Bhuda nandur sarwa sari,
Pala wija wrahaspati,
Sukra nandur pala gantung,
Sarwa turus saniscara,
Sarwa buku ring redite,
Soma nandur,
Pala bungkah ento ingetang.
Yang artinya : kalau ingin menanam tumbuhan
agar memperhatikan harinya, jenis sayuran ditanam hari selasa, jenis bunga hari
rabu, jenis biji-bijan hari kamis, jenis buah-buahan hari jumat, jenis turus
hari sabtu, jenis tumbuhan yang memiliki buku hari minggu, serta jenis umbi-umbian
hari senin.
Melalui pelaksanaan tumpek wariga kita
jaga dan lestarikan alam yang ada di bumi ini !!!
Teruslah bergerak, walaupun sedikit yang
penting berdampak.
Salam dan Bahagia.
Rahayu.
Saniscara Kliwon Wariga,
10 Desember 2022
I Wayan Adi Upadana, S.Pd.B., M.Pd
Tidak ada komentar:
Posting Komentar